Saya sangat terkejut ketika dimintai tolong istri untuk membeli garam. Begitu mendapati paket yang paling ringan berberat satu kilogram, saya pikir masih terlalu banyak. "Berapa tahun harus menghabiskan garam sebanyak itu?" pikirku. "Bolehkah saya membeli beberapa potong saja?" tanyaku kepada penjaga toko. Yang menjadikan shock perasaan saya adalah bahwa ternyata harga satu kilogram garam itu hanya tiga ribu rupiah.
Sebagai pemerhati masalah bisnis, saya coba tarik benang merah dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Waktu itu saya menjadi salah satu tim pembicara seminar sebuah SMA di Rembang, Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju sekolah tersebut terhampar pemandangan berhektar- hektar berupa kolam-kolam pembuatan garam. Mobil saya sempat terhenti bebe- rapa menit karena terhalang oleh beberapa tronton (truk besar) pengankut garam yang siap kemas untuk didistribusikan keberbagai daerah.
Bisa dibayangkan jika harga satu kilogram garam di tingkan eceran (retail) saja hanya tiga ribu rupiah, berapa rupiah per kilogramnya para pelaku bisnis di bidang pergaraman dapat mengan- tonginya? Berapa nilai garam yang bisa diangkut dalam tronton itu, berapa biaya transpor- tasinya, berapa upah para tenaga kerjanya, berapa keuntungan distributornya, berapa nilai jerih payah keluarga sang petani?
Tidak lama berselang saya mendampingi kawan mengikuti tes masuk program doktor di ITS Surabaya. Di tengah-tengah kejenuhan menunggu kawan saya mengikuti serangkaian tes, saya putuskan untuk jalan- jalan di seputar kampus. Tak terasa kaki ini menghantarkan saya menuju kawasan bisnis elite dimana mata ini menangkap dua bangunan besar dan megah yang terpam- pang di bagian mukanya tulisan Gramedia dan LBC (London Biuty Centre). Tak pelak pikiran membayangkan berapa rupiah para pelaku bisnis di kedua usaha tersebut. Kemudian saya coba bandingkan penghasilan para pelaku bisnis di bidang pergaraman.
Pada kenyataannya keduanya berjalan lancar, terbukti mereka tidak berhenti menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Terlepas dari permasalahan apa yang mereka hadapi toh mereka tidak mudah beralih ke bidang lain. Yang jelas keluh kesah, suka duka dan pahit getir kehidupan mereka alami. Yang jadi pertanyaan adalah, "Pernahkah terpikir oleh para pelaku bisnis elite itu berbangga diri atas kelebihannya dibangding dengan para pelaku bisnis pergaraman?" Atau sebaliknya, adakah waktu bagi para petani garam untuk berminder- ria dan merasa rendah diri pada para pelaku bisnis elite tersebut?
Jawabannya, boro-boro berpikir tentang orang lain, menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi saja waktunya terbatas. Yang pasti, apa pun ksulitan yang mereka hadapi toh kehidup- annya jalan terus. Ini pertanda bahwa dipikir atau tidak dipikir, kehidupan yang gaib di bawah kendali Allah swt ini tetap akan berlangsung sebagaimana telah ditetapkan-Nya dalam kitab Laughul Mahfudz. Jadi, langkah terbaik kita adalah berupaya menghindar dari kesibukan ber- pikir tentang sasuatu yang tak ada pengaruhnya sama sekali dengan perjalanan hidup kita.
Ingat kambali bahwa dalam menapaki perjalanan hidup ini, ada dua hal pokok yang harus kita kelola. Yang pertama mengelola fisik (dhohir) agar berjalan sebagai- mana fitrahnya dan menge- lola batiniah sebagai- manaperintah Allah agar senantiasa menjaga keikhlasan.