Kamis, 01 Oktober 2009

RIDHO IS THE BEST ATTITUDE

Jika sejak awal kita diberi kesempatan untuk menetapkan sendiri nasib dan corak perja-lanan hidup kita, bab ini tak perlu lagi dibahas. Namun, karena pada kenyataannya sama sekali manusia tidak kuasa atas eksistensinya sendiri, terutam yang berkaitan dengan jenis kelamin, ketampanan atau kecantikan, umur, rezeki, jodoh, dan sebagainya terma-suk kapan dan di mana dilahirkan serta dari keluarga yang bagaimana, rupanya tidak ada pensikapan yang lebih baik dari pada ridho atau menerima apa pun peran dan bagaimana pun riwayat perjalanan hidup kita. Sebagian orang menganggap bahwa Allah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk menentukan nasibnya sendiri, sebagian yang lain mengganggap bahwa kita tak ubahnya wayang yang di amanahi untuk menjalankan peran tertentu yang satu sama lain berbeda, ada juga yang menganggap bahwa sebagian nasib kita telah ditentukan oleh Allah SWT dan selebihnya manusia itu sendiri yang menentukan.

Padahal kebenaran yang haq itu pasti hanya satu. Tentunya dari ketiga pendapat di atas mau tak mau dua diantaranya harus salah meskipun semuanya berdasarkan pada dalil yang shohih antara lain, sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada selembar daun jatuh melainkan Allah telah mencatatnya dalam kitab laugh mahfudz dan firman Allah SWT lima puluh ribu tahun sebelum bumi ini diciptakan dan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah apa yang ada pada dirinya. Bagaimana men-sikapi kedua dalil yang nampaknya bertentangan satu sama lain tersebut?

Bertentangan? Tunggu dulu! Memang, ditinjau dari kacamata awam, dalil kedua membe-rikan kesimpulan bahwa manusia sendirilah yang menentukan nasib hidupnya sehingga tidak sejalan dengan dalil sebelumnya bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini telah ter-tulis di dalam kitab laugh mahfudz. Perkenankan saya menyodorkan cara menjelaskan kasus tersebut sebagai berikut.

Berbicara tentang perubahan berarti ada obyek yang berubah. Obyek menuntut adanya subyek. Perubahan sebuah obyek bisa terjadi karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bahwa obyek itu memang berupah sifat atau bentuknya, yang kedua obyek itu tetap akan tetapi subyeknyalah yang berubah, entah dari sisi sudut pandang maupun cara memandang. Sama halnya dengan nasib, ada kemungkinan berubah karena memang secara material berubah, ada kemungkinan pula yang berubah adalah cara memandangnya, misalnya berubahnya konsep tentang sesuatu atau kepahaman akan sesuatu. Yang jelas, dalil-dalil sebagai rujukan kebenaran tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Yang sering terjadi adalah kepahaman kita yang belum sampai.

Sedikit pun manusia tidak memiliki kapasitas untuk menghukumi sesamanya. Terlepas dari semua itu, apa pun konsep dan kepahaman manusia tentang nasib hidupnya, berhati ridho tetap tak tergoyahkan sebagai sikap yang terbaik. Bahkan pada tingkat kepahaman spiritual tertentu, ridho dianggap merupakan salah satu dari sikap paling cerdas baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.

Jumat, 25 September 2009

DOMINASI AKAL ATAS AGAMA

Membaca buku Chicken Soup for the Soul, saya menemukan cerita yang cukup menyentuh. Seorang karyawan berprestasi di sebuah perusahaan swasta di Amerika berkomunikasi dengan putranya melalui handphone. Sayup-sayup pembicaraan mereka terdengar oleh atasannya. Sang anak mengingatkan sang ayah agar tidak lupa janji membelikan sepatu baseball pada hari ulang tahunnya.
Diceritakan pula bahwa sepatu tersebut sudah sekian lama diimpi-impikan oleh anak tersebut. Dan telah sekian lama pula sang ayah berusaha mengumpulkan uang ekstra yang tak kunjung terwujud karena selalu habis untuk kebutuhan primer keluarganya.
Terdengar oleh sang atasan suara karyawan tersebut terbata-bata ketika menanggapi pengingatan anaknya. Ekspresi tak pasti dan murung pun tak luput dari pandangan sang atasan ketika sesekali mencoba melirik sang karyawan ketika menerima telephone. Tak pelak hatinya trenyuh dan terharu mendengarnya.
Tak terasa air matanya menetes seraya bergumam dalam hati, "Ya, Tuhan. Alangkah tidak adilnya hidup ini. Ternyata, seorang karyawan berprestasi yang telah memberi sumbang sih besar di perusahaan ini, masih kesulitan bahkan ketika hanya sekedar membelikan sepatu baseball anaknya."
Tergeraklah hati sang atasan untuk menolong bawahannya. Sebuah kejutan dalam rangka membahagiakan keluarga karyawannya pun terlaksana. Disodorkannya bingkisan berisi sepatu baseball yang ciri-cirinya telah tercuri dengan ketika berkomunikasi via handphone.
Alangkah bahagianya sang karyawan tersebut sesaat setelah mengetahui bahwa yang disodorkan sang atasan adalah bingkisan ulang tahun yang telah lama di damba-dambakan anaknya. Air mata bahagia pun tak tertahankan lagi membasahi pipinya.

Yang ingin saya bahas dari cerita tersebut di atas adalah nuansa sekuler yang begitu kental. Sang karyawan berprestasi itu merasa bahwa jika tidak ditolong oleh atasannya niscaya kebahagiaan di hari ulang tahun anaknya bakal tidak terujud. Sang atasan pun merasa bahwa dirinyalah sang dewa penolong bagi keluarga bawahannya. Yang menulis cerita pun nampak sekali bahwa sedikit pun tak terpikirkan bahwa semua itu terjad atas ijin dan kehendak Allah. Keterlibatan mereka secara dhohiriah plus kemampuan akademisnya menjadikan Allah tak pernah hadir dalam setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dan ingat, jika tidak hati-hati kita yang membaca pun terlena dan terseret masuk ke dalam alam pikir mereka, lho!

Kamis, 24 September 2009

FENOMENA PETANI GARAM

Saya sangat terkejut ketika dimintai tolong istri untuk membeli garam. Begitu mendapati paket yang paling ringan berberat satu kilogram, saya pikir masih terlalu banyak. "Berapa tahun harus menghabiskan garam sebanyak itu?" pikirku. "Bolehkah saya membeli beberapa potong saja?" tanyaku kepada penjaga toko. Yang menjadikan shock perasaan saya adalah bahwa ternyata harga satu kilogram garam itu hanya tiga ribu rupiah.
Sebagai pemerhati masalah bisnis, saya coba tarik benang merah dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Waktu itu saya menjadi salah satu tim pembicara seminar sebuah SMA di Rembang, Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju sekolah tersebut terhampar pemandangan berhektar- hektar berupa kolam-kolam pembuatan garam. Mobil saya sempat terhenti bebe- rapa menit karena terhalang oleh beberapa tronton (truk besar) pengankut garam yang siap kemas untuk didistribusikan keberbagai daerah.
Bisa dibayangkan jika harga satu kilogram garam di tingkan eceran (retail) saja hanya tiga ribu rupiah, berapa rupiah per kilogramnya para pelaku bisnis di bidang pergaraman dapat mengan- tonginya? Berapa nilai garam yang bisa diangkut dalam tronton itu, berapa biaya transpor- tasinya, berapa upah para tenaga kerjanya, berapa keuntungan distributornya, berapa nilai jerih payah keluarga sang petani?
Tidak lama berselang saya mendampingi kawan mengikuti tes masuk program doktor di ITS Surabaya. Di tengah-tengah kejenuhan menunggu kawan saya mengikuti serangkaian tes, saya putuskan untuk jalan- jalan di seputar kampus. Tak terasa kaki ini menghantarkan saya menuju kawasan bisnis elite dimana mata ini menangkap dua bangunan besar dan megah yang terpam- pang di bagian mukanya tulisan Gramedia dan LBC (London Biuty Centre). Tak pelak pikiran membayangkan berapa rupiah para pelaku bisnis di kedua usaha tersebut. Kemudian saya coba bandingkan penghasilan para pelaku bisnis di bidang pergaraman.
Pada kenyataannya keduanya berjalan lancar, terbukti mereka tidak berhenti menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Terlepas dari permasalahan apa yang mereka hadapi toh mereka tidak mudah beralih ke bidang lain. Yang jelas keluh kesah, suka duka dan pahit getir kehidupan mereka alami. Yang jadi pertanyaan adalah, "Pernahkah terpikir oleh para pelaku bisnis elite itu berbangga diri atas kelebihannya dibangding dengan para pelaku bisnis pergaraman?" Atau sebaliknya, adakah waktu bagi para petani garam untuk berminder- ria dan merasa rendah diri pada para pelaku bisnis elite tersebut?
Jawabannya, boro-boro berpikir tentang orang lain, menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi saja waktunya terbatas. Yang pasti, apa pun ksulitan yang mereka hadapi toh kehidup- annya jalan terus. Ini pertanda bahwa dipikir atau tidak dipikir, kehidupan yang gaib di bawah kendali Allah swt ini tetap akan berlangsung sebagaimana telah ditetapkan-Nya dalam kitab Laughul Mahfudz. Jadi, langkah terbaik kita adalah berupaya menghindar dari kesibukan ber- pikir tentang sasuatu yang tak ada pengaruhnya sama sekali dengan perjalanan hidup kita.
Ingat kambali bahwa dalam menapaki perjalanan hidup ini, ada dua hal pokok yang harus kita kelola. Yang pertama mengelola fisik (dhohir) agar berjalan sebagai- mana fitrahnya dan menge- lola batiniah sebagai- manaperintah Allah agar senantiasa menjaga keikhlasan.

Senin, 07 September 2009

SEOLAH-OLAH BAKAL MASUK SURGA

Hidup itu cobaan istirahatnya musibah. Manusia, sebagian dicoba dengan kekurangngan harta, sebagian yang lain dicoba dengan kelebihan harta. Biasanya yang lusus ujian cenderung mereka yang diuji dengan musibah kekurangan harta, karena kelebihan harta cenderung menjadikan manusia terlena terlena.
Ingat, bahwa sesungguhnya syarat utama seseorang menikmati harta dunia adalah ketika orang-orang di sekitarnya tidak memiliki harta dengan kualitas dan harga yang sama. Sehingga, dengan kata lain, falsafah harta dunia adalah "menari-nari di atas penderitaan orang lain." Sedangkan cobaan kekurangan harta cenderung manjadikan si pelaku mengingat Allah dan sering berdo'a.
Tidak sedikit hamba Allah di muka bumi ini merasa sudah cukup dengan kesan di mata orang lain seolah sudah berbuat banyak untuk bekal masuk surga. Berapi-api bicara tentang keimanan tapi alergi bicara tentang keadilan. Mencanangkan kesederhanaan tetapi enggan memberi contoh, padahal Allah sangat murka kepada orang-orang yang mengngucapkan tentang sesuatu tatapi tidak mau menjalaninya.

Senin, 31 Agustus 2009

IMTAK VS IPTEK

Masyarakat yang hidup di beberapa negara berkembang dimana agama lebih dulu dikenal ketimbang tehnologi, kemudian pemerintah atau pemegang kekuasaan tertinggi lebih memilih menerapkan sistem kenegaraan yang berlandaskan niliai-nilai yang tercipta dari hasil pemikiran moderen, cenderung memiliki pola pikir yang tidak karuan karena terombang ambing oleh dua paham yang bertentangan satu sama lain. Satu sisi, begitu mengenal agama, sebagian masyarakat mulai menjalani cara hidup diatas landasan keimanan. Namun belum sempat mengasai nilai-nilai agama secara komprehensif sudah terhadang oleh paham baru yang lebih terakomodir oleh pemegang otoritas di negara tersebut dalam memasyarakatkan nilai-nilainya melalui berbagai kemudahan, baik formal maupun non formal.
Kemudahan formal misalnya dengan diselenggarakannya sistem pendidikan, dengan diterapkannya suatu hukum negara yang wajib diindahkan oleh seluruh rakyatnya, dan sebagainya. Sedangkan yang non formal, misalnya dengan diijinkannya berdiri media informasi (cetak maupun elektronik) sehingga paham-paham moderen berbasis tehnologi yang sarat dengan nilai-nilai sekuler itu menjadi sangat mudah tersosialisasikan di lingkungan masyarakat. Lebih-lebih, paham tersebut menawarkan gaya hidup bebas yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dibangun melalui wadah agama.
Saudaraku seiman di mana pun berada, berdasarkan pengalaman mengikuti pendidikan formal dan kemudian saya coba pertemukan dengan hasil perenungan panjang, ternyata tidak ada yang bisa menyanggah beberapa argumen berkaitan dengan kebenaran haqiqi. Misalnya bahwa yang bisa menjelaskan tentang sesuatu adalah pembuatnya sendiri. Ibarat sebuah makanan dalam kaleng, yang bisa menjelaskan tentang mengapa dibuat, bagaimana membuatnya, apa bahannya, dan lain-lain, ya pastilah si pembuatnya. Jika pun ada yang merasa bisa, pastilah hanya menduga-duga.
Seiring dengan diciptakannya kehidupan ini, Allah sang pencipta, tidak lantas melepaskannya begitu saja, melainkan diciptakan sekalian hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan oleh seluruh penghuni jagad raya ini. Kita tidak memiliki sedikit pun kapasitas untuk mengatur dan membuat hukum atas diri kita sendiri. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya iptek yang sekarang berkembang dan menjadi pegangan hidup ini pada dasarnya hasil karya pikiran manusia. Begitu akrab dengan kehidupan kita sehingga menggeser ilmu yang datang nya dari sang pencipta yang sempurna sebagai pedoman hidup.
Sehebat-hebatnya Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK) toh tidak sanggup menemukan jawaban dari pertanyaan, "Antara ayam dan telor, mana yang lebih dulu diciptakan? Padahal nyata-nyata ada." Secerdas-cerdasnya akal manusia tetap saja terbatas dalam memahami kehidupan yang ternyata sarat dengan kegaiban ini. Jangankan memahami alam kematian yang disiratkan keberadaannya menurut ajaran Islam ini, mengingat sesuatu yang kita alami saja mustahil. Misalkan mengingat apa yang terjadi ketika kita berumur satu tahun. Bagaimana akal ini memahami jika mengingat apa yang terjadi saat itu pun tidak bisa.
Sahabat, kini petunjuk itu telah jelas. Semua telah tertuang di dalam kitab Al Qur'an dan telah begitu lengkapnya diterangkan melalui kitab-kitab as Sunnah dan buku-buku yang menjelaskan bagaimana para sahabat memahami petunjuk haq itu. Mari kita sambut bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya itu. Semoga kita menjadi orang yang beruntung. Amin.

Kamis, 27 Agustus 2009

MEMAHAMI TAKDIR ALLAH

Umur, rejeki, dan jodoh sudah ditetapkan oleh sang pencipta. Manusia tidak bisa mendikte datangnya ketiga hal tersbut. Jika pun merasa bisa, semata-mata hanya perasaan saja sebagai akibat dari pndidikan formal yang ia lalui yang memang sejak awal bertentangan dengan konsep agama khususnya dlam hal yang berkaitan dengan memahamkan manusia akan kehidupan.
Banyak indikator-indikator yang menunjukkan bahwa pikiran manusia telah terdoktrin untuk menerima 100% kebenaran ilmiah ketimbang kebenaran agama. Padahal agama merupakan petunjuk yang datangnya dari sang pencipta, sedangkan kebenaran ilmiah tak lebih hanyalah produk akal seseorang yang notabene sama derajat dan kapasitasnya dengan kita. Misalnya, keyakinan bahwa kita harus bekerja keras agar kita kaya, bahwa kita harus jaga kesehatan agar awet muda dan berumur panjang, bahwa sebaiknya kita mendoakan kawan yang sedang berulang tahun 'semoga panjang umur,' dan lain sebagainya.
Mengapa sebaliknya akal tidak kita gunakan saja untuk memperkuat keyakinan akan kekuasaan Allah dengan argumen bahwa sama-sama kita tidak memilih untuk apa dan dari keluarga yang bagaimana kita dilahirkan, yang menunjukkan bahwa kita tidak kuasa atas apapun yang kita miliki termasuk ketampanan dan kecantikan kita, apalagi keadaan ekonomi kita. Argumen tersebut menunjukkan bahwa kita hanya difitrahkan hidup sesuai dengan peran kita yang memang berbeda satu sama lain.
Jadi, 'kemilikan' kita memang tidak untuk dibandingkan satu sama lain karena memang bukan milik kita. Kita memang sering tidak sadar bahwa apapun yang kita miliki bukanlah kreasi dan prestasi kita melainkan merupakan keketapan Allah bagi kita yang harus kita manfaatkan sesuai dengan peran kita di dunia. Selanjutnya kita ikuti saja kehendak Allah tentang apa yang harus kita perbuat dan bagaimana caranya. Dan konon petunjuk itu telah datang dibawakan oleh utusan Allah Muhammad s a w yang sekarang bisa kita pelajari melalui al Qur'an dan al Hadits.
Dunia memang melenakan. Kecantikan seseorang, misalnya, sering kali atau cenderung membawa pemiliknya untuk menikmati seolah prestasinya. Lupa bahwa dia tidak pernah memesan ingin lahir cantik. Lihat saja, banyak artis-artis yang begitu merasa superior dibanding teman seprofesinya yang ditinjau dari penampilan kurang beruntung.
Contoh lainnya, yuk kita amati bagaimana Julia Perez dan Dewi Persik begitu bahagianya dan sedikit pun tak merasa bersalah mengumbar auratnya di depan publik. Meskipun masyarakat okey-okey saja dengan perilaku mereka, tetap saja namanya penjaja sex komersial, menawarkan produk sensualitas yang hanya akan laku jika ditawarkan pada penikmat yang tergelitik birahinya. Mereka lupa bahwa mereka sedang membanggakan sesuatu yang bukan merupakan prestasinya.
Sama halnya dengan harta dan tahta. Jika tidak hati-hati, kita cenderung salah mensikapi kedua aset ini. Perasaan memiliki dan menguasainya begitu tinggi karena merasa telah terlibat dalam proses kehadirannya. Begitu tingginya perasaan itu sehingga lupa bahwa semua itu terjadi karena kehendak Allah. Padahal semua itu hanyalah perasaannya saja. Tidak mudah, memang, menjelaskan fenomena seperti ini, karena seluruh inderanya telah menjadi saksi dan akalnya telah membenarkan. Itulah akibat dari pendidikan di negara kita yang mendewakan peran akal dan menafikan peran agama.

Minggu, 16 Agustus 2009

FUNNY BUT SURE

I have no idea why it ever happens in my beloved country. Not to mention in the month of Ramadhan when all Muslims are obliged to do fasting devotion. It turned out that all of the personnel involved in producing the Islamic-religious films are non-loyal Muslims. In fact, they propagate the greatness of religion they do not wholeheartedly believe. And what even make me shock is that some of them are Christians. How come?