Selasa, 10 November 2009

KEADILAN PEMIMPIN DHOLIM

Beberapa hari terakhir ini wajah kawan saya nampak sangat murung. Sempat, suatu ketika, di saat yang sangat terbatas, ia melontarkan isi hatinya, "Aku tahu bahwa di tengah-tengah kekesalanku karena merasa tak mendapat keadilan baik secara kesempatan maupun hak, ada beberapa senior yang menilaiku tidak profesional dan tidak komit dalam mengemban amanah."

Sebagai sahabat, saya mencoba mengetengahkan sebuah konsep tentang hidup, khususnya tentang berkarya di bawah otoritas orang lain. "Mar, saya tahu kamu memang sedang kesal terhadap kebijakan atasanmu itu." Percakapan pun saya buka. "Tapi, cobalah dengarkan dan hayati konsep saya tentang bekerja ini."

Setelah menundukkan kepala pertanda bahwa ia setuju meskipun sedikit tidak percaya bahwa yang saya sodorkan merupakan kosep yang baik menurutnya, saya coba memulai presentasi saya tentang konsep itu. "Begini Mar. Dalam sebuah organisasi bisnis yang tidak berkeadilan, di dalamnya pasti terdapat setidaknya dua pihak. Yang pertama pihak yang dholim, yang selainnya pihak yang didholimi. Lalu, jika kamu ditawari untuk memilih satu dari sifat tersebut, mau milih yang mana?"

Belum sempat ia menjawab lantaran setengah bingung saya dului, "Kalau saya Mar, sebesar apa pun kedholiman orang lain dalam organisasi bisnis tempat kita bekerja, saya memilih bertahan. Pasalnya Mar, siapa pun mereka yang kita anggap dholim, sesungguhnya hanyalah melaksana- kan keputusan Allah. Mereka memang bagian dari kehidupan kita yang harus berperilaku demikian. Kita tak bisa merubah sikap mereka, meski pun seolah-olah, ketika kita berupaya meninta dirinya untuk berubah, berubah karena kita. Sekali-kali bukan. Maka karena kita tak kuasa untuk merubah kehendak Allah atas dirinya melainkan dengan cara berdoa, maka jelaslah bahwa langkah terbaik kita adalah memohon kepada Allah agar mereka berubah, kemudian secara ikhtiar, agar menjadi bagian dari sunnatullah, kita utarakan keinginnan dengan niatan ber-amar makruf demi keridhoan Allah, kemudian yaqin bahwa apa pun hasilnya merupakan jawaban terbaik bagi kita dari Allah."

Sedikit, kalau pun dikatakan ada, pemimpin yang merasa bahwa kebijakannya salah. Pada dasarnya setiap orang memiliki keyakinan bahwa dirinya telah berbuat terbaik. Dan memang terbaik, setidaknya versi mereka yang biasanya sebanding dengan kepahamannya akan arti dan makna kepemimpinan.

"Benar juga sih." Katanya tiba-tiba setuju dengan konsep yang saya tawarkan. "Eh, itung-itung, jika memang kebetulan ada kelebihan hak kita yang terrampas oleh mereka, kita titip bekal akhirat di pundak mereka. Bukankah kita haqqul yaqin seratus persen percaya bahwa Allah maha adil?" Lanjutnya. Dan akhirnya ia kembali giat bekerja. Alhamdulillah.