Minggu, 01 Mei 2011

ULTIMATE WINNING MINDSET


Perkenalkan situs saya (Wasi Darmolono) terbaru bertema tampilan Ultimate Winning Mindset dengan alamat situs (url) www.firdausmindset.com. Melalui situs tersebut saya meng-undang siapa saja yang tertarik untuk mening-katkan kemampuan berbahasa Inggrisnya sambil memperdalam keimanan. Blog baru ini sengaja saya tampilkan menggunakan bahasa Inggris karena saya tujukan untuk ber-dakwah secara inter-nasional. E siapa tahu ada warga muslim yang tinggal di negara-negara berbahasa Inggris menjumpai situs ini ketika searching.


Untuk memfasilitasi pengunjung, saya juga siapkan link-link ke ber-bagai kepen-tingan sehingga layaklah jika situs ini dikatakan one-stop netting. Silahkan kunjungi http://www.firdausmindset.com/ jika ingin menjadi warga internet yang sukses. Mau men-download musik juga bisa. Untuk sementara fasilitas download film saya tiadakan karena menurut pengalaman prosesnya sangat lama sehingga menjadikan pengunjung situs ini bosan. Insya Allah dalam waktu dekat saya siapkan.Saya sangat berharap pembaca blog ini berkenan memberi masukan untuk pengem-bangan dakwah fi sabilillah ini. Sebelum Antum memutuskan untuk membantu, saya ucapkan beribu terima kasih. Dan akhir kata semoga informasi ini ber-manfaat. Amin

Minggu, 10 Januari 2010

RUHUT DAN ETIKA SIDANG

"Diam kau!" teriak Gayus Lumbun selaku pemimpin sidang meminta Ruhut Sitompul sebagai peserta. Bagi pemirsa TV saat itu, jika tidak kritis bisa terkecoh kepiawaian Ruhut mengacau jalannya persidangan. Begitu yakinnya bahwa dirinya benar, sehingga PeDe sekali mencatut kata "Profesor" untuk mempertajam sarkasme guna mencitrakan betapa seorang Gayus Lumbun (sang Profesor) tidak mampu mengendalikan emosinya dan berharap bahwa para pemirsa tak perlu menghormati ke-profesor-an seseorang yang diperolehnya dengan begitu gigihnya.

Sementara Ruhut Sitompul yang merasa diatas angin memasang ekspresi senyumnya untuk mengelabuhi pemirsa. Padahal saya membayangkan bahwa sesaat sebelum masuk ruang sidang dia berkata dalam hati, "Pokoknya saya harus membuktikan bahwa saya mampu mengemban amanah kawan-kawan untuk mengalihkan perhatian publik dengan cara yang cerdik. Saya harus tetap tersenyum agar nampak elegan. Misi saya memang bukan mengemban aspirasi masyarakat. Menurut saya mengacau peradilan lebih tepat karena saya anggap lebih menguntungkan bagi karir politik saya. Inilah momentum buat saya."


RUHUT DAN KOMITMEN KEADILAN

Ruhut Sitompul boleh saja bicara keras, lantang, kadang-kadang memerahkan telinga bagi para praktisi hukum yang merasa terlecehkan karena terkesan seolah-olah tidak mampu mematahkan argumennya. Namun, betapa pun hebat engkau bicara, Hut, begitu piawainya mengolah kata yang jika tidak waspada begi sebagian masyarakat yang tidak peka tehadap permasalahan yang krusial, bisa teralihkan perhatiannya kepada perkara yang entah sengaja atau tidak sengaja menjadi noise atau kegaduhan hukum; kehebohanmu tetap tidak akan mengubah esensi bahwa orientasi semua pihak terkait dalam kasus Bank Century yang sedang marak menjadi community discourse ini adalah keadilan dan kejelasan hukum.

Jadi, Hut, silahkan menyanyi dan menari di atas mimbar peradilan sepuasmu. Satu hal terpenting yang saya mohon tidak lepas dari hati sanubarimu, adalah komitmen untuk memihak pada yang benar, menegakkan keadilan, dan menciptakan kejelasan hukum di Indonesia. Jika komitmen ter-sebut masih bersemayam di lubuk hatimu yang terdalam, insya Allah saya akan mengajak komuni-tas internet untuk mendoakan keselamatan bagimu dunia dan akhirat. Namun jika sebaliknya, maka ketahuilah, Hut, betapa dalam hati bangsa ini engkau lukai.

Kami sedang berupaya menjaga prasangka baik pada sang super orator ini dan menaruh harapan bahwa kehadirannya di dalam perhelatan hukum ini bakal menjadi angin segar bagi kedaulatan hu-kum di negara kita. Semoga kekawatiran saya, dan bukan tidak mungkin beberapa kawan yang lain terhapus oleh terujudnya cita-cita seluruh praktisi hukum dan bangsa Indonesia yang tak lain adalah keadilan dan kepastian hukum. Amin.

Selasa, 10 November 2009

KEADILAN PEMIMPIN DHOLIM

Beberapa hari terakhir ini wajah kawan saya nampak sangat murung. Sempat, suatu ketika, di saat yang sangat terbatas, ia melontarkan isi hatinya, "Aku tahu bahwa di tengah-tengah kekesalanku karena merasa tak mendapat keadilan baik secara kesempatan maupun hak, ada beberapa senior yang menilaiku tidak profesional dan tidak komit dalam mengemban amanah."

Sebagai sahabat, saya mencoba mengetengahkan sebuah konsep tentang hidup, khususnya tentang berkarya di bawah otoritas orang lain. "Mar, saya tahu kamu memang sedang kesal terhadap kebijakan atasanmu itu." Percakapan pun saya buka. "Tapi, cobalah dengarkan dan hayati konsep saya tentang bekerja ini."

Setelah menundukkan kepala pertanda bahwa ia setuju meskipun sedikit tidak percaya bahwa yang saya sodorkan merupakan kosep yang baik menurutnya, saya coba memulai presentasi saya tentang konsep itu. "Begini Mar. Dalam sebuah organisasi bisnis yang tidak berkeadilan, di dalamnya pasti terdapat setidaknya dua pihak. Yang pertama pihak yang dholim, yang selainnya pihak yang didholimi. Lalu, jika kamu ditawari untuk memilih satu dari sifat tersebut, mau milih yang mana?"

Belum sempat ia menjawab lantaran setengah bingung saya dului, "Kalau saya Mar, sebesar apa pun kedholiman orang lain dalam organisasi bisnis tempat kita bekerja, saya memilih bertahan. Pasalnya Mar, siapa pun mereka yang kita anggap dholim, sesungguhnya hanyalah melaksana- kan keputusan Allah. Mereka memang bagian dari kehidupan kita yang harus berperilaku demikian. Kita tak bisa merubah sikap mereka, meski pun seolah-olah, ketika kita berupaya meninta dirinya untuk berubah, berubah karena kita. Sekali-kali bukan. Maka karena kita tak kuasa untuk merubah kehendak Allah atas dirinya melainkan dengan cara berdoa, maka jelaslah bahwa langkah terbaik kita adalah memohon kepada Allah agar mereka berubah, kemudian secara ikhtiar, agar menjadi bagian dari sunnatullah, kita utarakan keinginnan dengan niatan ber-amar makruf demi keridhoan Allah, kemudian yaqin bahwa apa pun hasilnya merupakan jawaban terbaik bagi kita dari Allah."

Sedikit, kalau pun dikatakan ada, pemimpin yang merasa bahwa kebijakannya salah. Pada dasarnya setiap orang memiliki keyakinan bahwa dirinya telah berbuat terbaik. Dan memang terbaik, setidaknya versi mereka yang biasanya sebanding dengan kepahamannya akan arti dan makna kepemimpinan.

"Benar juga sih." Katanya tiba-tiba setuju dengan konsep yang saya tawarkan. "Eh, itung-itung, jika memang kebetulan ada kelebihan hak kita yang terrampas oleh mereka, kita titip bekal akhirat di pundak mereka. Bukankah kita haqqul yaqin seratus persen percaya bahwa Allah maha adil?" Lanjutnya. Dan akhirnya ia kembali giat bekerja. Alhamdulillah.

Kamis, 01 Oktober 2009

RIDHO IS THE BEST ATTITUDE

Jika sejak awal kita diberi kesempatan untuk menetapkan sendiri nasib dan corak perja-lanan hidup kita, bab ini tak perlu lagi dibahas. Namun, karena pada kenyataannya sama sekali manusia tidak kuasa atas eksistensinya sendiri, terutam yang berkaitan dengan jenis kelamin, ketampanan atau kecantikan, umur, rezeki, jodoh, dan sebagainya terma-suk kapan dan di mana dilahirkan serta dari keluarga yang bagaimana, rupanya tidak ada pensikapan yang lebih baik dari pada ridho atau menerima apa pun peran dan bagaimana pun riwayat perjalanan hidup kita. Sebagian orang menganggap bahwa Allah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk menentukan nasibnya sendiri, sebagian yang lain mengganggap bahwa kita tak ubahnya wayang yang di amanahi untuk menjalankan peran tertentu yang satu sama lain berbeda, ada juga yang menganggap bahwa sebagian nasib kita telah ditentukan oleh Allah SWT dan selebihnya manusia itu sendiri yang menentukan.

Padahal kebenaran yang haq itu pasti hanya satu. Tentunya dari ketiga pendapat di atas mau tak mau dua diantaranya harus salah meskipun semuanya berdasarkan pada dalil yang shohih antara lain, sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada selembar daun jatuh melainkan Allah telah mencatatnya dalam kitab laugh mahfudz dan firman Allah SWT lima puluh ribu tahun sebelum bumi ini diciptakan dan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah apa yang ada pada dirinya. Bagaimana men-sikapi kedua dalil yang nampaknya bertentangan satu sama lain tersebut?

Bertentangan? Tunggu dulu! Memang, ditinjau dari kacamata awam, dalil kedua membe-rikan kesimpulan bahwa manusia sendirilah yang menentukan nasib hidupnya sehingga tidak sejalan dengan dalil sebelumnya bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini telah ter-tulis di dalam kitab laugh mahfudz. Perkenankan saya menyodorkan cara menjelaskan kasus tersebut sebagai berikut.

Berbicara tentang perubahan berarti ada obyek yang berubah. Obyek menuntut adanya subyek. Perubahan sebuah obyek bisa terjadi karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bahwa obyek itu memang berupah sifat atau bentuknya, yang kedua obyek itu tetap akan tetapi subyeknyalah yang berubah, entah dari sisi sudut pandang maupun cara memandang. Sama halnya dengan nasib, ada kemungkinan berubah karena memang secara material berubah, ada kemungkinan pula yang berubah adalah cara memandangnya, misalnya berubahnya konsep tentang sesuatu atau kepahaman akan sesuatu. Yang jelas, dalil-dalil sebagai rujukan kebenaran tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Yang sering terjadi adalah kepahaman kita yang belum sampai.

Sedikit pun manusia tidak memiliki kapasitas untuk menghukumi sesamanya. Terlepas dari semua itu, apa pun konsep dan kepahaman manusia tentang nasib hidupnya, berhati ridho tetap tak tergoyahkan sebagai sikap yang terbaik. Bahkan pada tingkat kepahaman spiritual tertentu, ridho dianggap merupakan salah satu dari sikap paling cerdas baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.

Jumat, 25 September 2009

DOMINASI AKAL ATAS AGAMA

Membaca buku Chicken Soup for the Soul, saya menemukan cerita yang cukup menyentuh. Seorang karyawan berprestasi di sebuah perusahaan swasta di Amerika berkomunikasi dengan putranya melalui handphone. Sayup-sayup pembicaraan mereka terdengar oleh atasannya. Sang anak mengingatkan sang ayah agar tidak lupa janji membelikan sepatu baseball pada hari ulang tahunnya.
Diceritakan pula bahwa sepatu tersebut sudah sekian lama diimpi-impikan oleh anak tersebut. Dan telah sekian lama pula sang ayah berusaha mengumpulkan uang ekstra yang tak kunjung terwujud karena selalu habis untuk kebutuhan primer keluarganya.
Terdengar oleh sang atasan suara karyawan tersebut terbata-bata ketika menanggapi pengingatan anaknya. Ekspresi tak pasti dan murung pun tak luput dari pandangan sang atasan ketika sesekali mencoba melirik sang karyawan ketika menerima telephone. Tak pelak hatinya trenyuh dan terharu mendengarnya.
Tak terasa air matanya menetes seraya bergumam dalam hati, "Ya, Tuhan. Alangkah tidak adilnya hidup ini. Ternyata, seorang karyawan berprestasi yang telah memberi sumbang sih besar di perusahaan ini, masih kesulitan bahkan ketika hanya sekedar membelikan sepatu baseball anaknya."
Tergeraklah hati sang atasan untuk menolong bawahannya. Sebuah kejutan dalam rangka membahagiakan keluarga karyawannya pun terlaksana. Disodorkannya bingkisan berisi sepatu baseball yang ciri-cirinya telah tercuri dengan ketika berkomunikasi via handphone.
Alangkah bahagianya sang karyawan tersebut sesaat setelah mengetahui bahwa yang disodorkan sang atasan adalah bingkisan ulang tahun yang telah lama di damba-dambakan anaknya. Air mata bahagia pun tak tertahankan lagi membasahi pipinya.

Yang ingin saya bahas dari cerita tersebut di atas adalah nuansa sekuler yang begitu kental. Sang karyawan berprestasi itu merasa bahwa jika tidak ditolong oleh atasannya niscaya kebahagiaan di hari ulang tahun anaknya bakal tidak terujud. Sang atasan pun merasa bahwa dirinyalah sang dewa penolong bagi keluarga bawahannya. Yang menulis cerita pun nampak sekali bahwa sedikit pun tak terpikirkan bahwa semua itu terjad atas ijin dan kehendak Allah. Keterlibatan mereka secara dhohiriah plus kemampuan akademisnya menjadikan Allah tak pernah hadir dalam setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dan ingat, jika tidak hati-hati kita yang membaca pun terlena dan terseret masuk ke dalam alam pikir mereka, lho!

Kamis, 24 September 2009

FENOMENA PETANI GARAM

Saya sangat terkejut ketika dimintai tolong istri untuk membeli garam. Begitu mendapati paket yang paling ringan berberat satu kilogram, saya pikir masih terlalu banyak. "Berapa tahun harus menghabiskan garam sebanyak itu?" pikirku. "Bolehkah saya membeli beberapa potong saja?" tanyaku kepada penjaga toko. Yang menjadikan shock perasaan saya adalah bahwa ternyata harga satu kilogram garam itu hanya tiga ribu rupiah.
Sebagai pemerhati masalah bisnis, saya coba tarik benang merah dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Waktu itu saya menjadi salah satu tim pembicara seminar sebuah SMA di Rembang, Jawa Tengah. Dalam perjalanan menuju sekolah tersebut terhampar pemandangan berhektar- hektar berupa kolam-kolam pembuatan garam. Mobil saya sempat terhenti bebe- rapa menit karena terhalang oleh beberapa tronton (truk besar) pengankut garam yang siap kemas untuk didistribusikan keberbagai daerah.
Bisa dibayangkan jika harga satu kilogram garam di tingkan eceran (retail) saja hanya tiga ribu rupiah, berapa rupiah per kilogramnya para pelaku bisnis di bidang pergaraman dapat mengan- tonginya? Berapa nilai garam yang bisa diangkut dalam tronton itu, berapa biaya transpor- tasinya, berapa upah para tenaga kerjanya, berapa keuntungan distributornya, berapa nilai jerih payah keluarga sang petani?
Tidak lama berselang saya mendampingi kawan mengikuti tes masuk program doktor di ITS Surabaya. Di tengah-tengah kejenuhan menunggu kawan saya mengikuti serangkaian tes, saya putuskan untuk jalan- jalan di seputar kampus. Tak terasa kaki ini menghantarkan saya menuju kawasan bisnis elite dimana mata ini menangkap dua bangunan besar dan megah yang terpam- pang di bagian mukanya tulisan Gramedia dan LBC (London Biuty Centre). Tak pelak pikiran membayangkan berapa rupiah para pelaku bisnis di kedua usaha tersebut. Kemudian saya coba bandingkan penghasilan para pelaku bisnis di bidang pergaraman.
Pada kenyataannya keduanya berjalan lancar, terbukti mereka tidak berhenti menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Terlepas dari permasalahan apa yang mereka hadapi toh mereka tidak mudah beralih ke bidang lain. Yang jelas keluh kesah, suka duka dan pahit getir kehidupan mereka alami. Yang jadi pertanyaan adalah, "Pernahkah terpikir oleh para pelaku bisnis elite itu berbangga diri atas kelebihannya dibangding dengan para pelaku bisnis pergaraman?" Atau sebaliknya, adakah waktu bagi para petani garam untuk berminder- ria dan merasa rendah diri pada para pelaku bisnis elite tersebut?
Jawabannya, boro-boro berpikir tentang orang lain, menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi saja waktunya terbatas. Yang pasti, apa pun ksulitan yang mereka hadapi toh kehidup- annya jalan terus. Ini pertanda bahwa dipikir atau tidak dipikir, kehidupan yang gaib di bawah kendali Allah swt ini tetap akan berlangsung sebagaimana telah ditetapkan-Nya dalam kitab Laughul Mahfudz. Jadi, langkah terbaik kita adalah berupaya menghindar dari kesibukan ber- pikir tentang sasuatu yang tak ada pengaruhnya sama sekali dengan perjalanan hidup kita.
Ingat kambali bahwa dalam menapaki perjalanan hidup ini, ada dua hal pokok yang harus kita kelola. Yang pertama mengelola fisik (dhohir) agar berjalan sebagai- mana fitrahnya dan menge- lola batiniah sebagai- manaperintah Allah agar senantiasa menjaga keikhlasan.