Sabtu, 08 Agustus 2009

TANTANGAN SPIRITUAL

Membersihkan diri dari sifat riyak alias pamer alias membanggakan diri memang terkadang tidak mudah. Pada suatu hari di bulan syawal, Primagama Holding Company mengundang seluruh karyawan di semua perusahaan under-bownya dimana saya adalah salah satu diantara undangan yang hadir. Berbagai macam hadiah pun disediakan mulai dari yang paling sederhana berupa door prize gantungan kunci hingga biaya perjalanan umroh ke tanah suci. Hal itu memang sudah menjadi tradisi yang digelar setiap tahun selepas bulan suci ramadhan usai yang populer disebut halal bihalal atau syawalan di tingkat group Primagama. Tradisi yang tidak kalah penting adalah bahwa setiap undangan dimohon untuk mengenakan pakaian taqwa atau baju muslim dan muslimah. Dan saya pun tak ketinggalan menuruti permintaan sang panitia.
Hari itu saya memilih baju terbaik yang paling kondosif menjaga suasana ibadah kepada Allah swt. Setidaknya menjaga hati agar selalu mengingat Nya dengan penuh rasa syukur. Baju serba putih termasuk kopyah putih rasanya kok paling tepat sebagai piulihan karena mengingatkan saya ketika pergi haji ke tanah suci.
Menjaga diri dari sifat riyak merupakan tekad saya di tengah-tengah undangan yang sangat kental dengan nuansa sekuler dimana setiap tamu undangan atau setidaknya sebagian besar cenderung menunjukkan keberadaan ekonominya melalui pakaian yang mereka kenakan. Dan bukan tidak mungkin sebagian dari mereka berjuang bak berdarah-darah agar bisa tampil lebih baik dari yang sebenarnya.
Sengaja saya pilih duduk di tengah-tengah kelompok kelas menengah dalam strata eksistensi di lingkungan group meskipun untuk duduk di deretan elit pun saya pantas, lebih-lebih bagi yang pernah pergi haji. Di sinilah inti dari curhat saya berawal. Kawan lama saya yang dulu pernah mengabdi di perusahaan yang sama dimana persaingan dan perang dingin antar individu begitu semarak, jauh berbeda dari perusahaan baru saya yang agamis sedemikian rupa sehingga setiap karyawan tabu berbuat riyak alias pamer alias membanggakan diri, berseloroh dalam rangka mencemooh, "Dilihat dari pakaian anda, anda layak lho jadi pak haji."
Saya tahu bahwa kawan lama saya ini memang belum tahu bahwa saya pernah pergi haji. Saya pun tahu bahwa ia menganggap bahwa pergi haji adalah mustahil bagi saya. Di tengah-tengah tamu undangan yang bangga dengan sebutan pak haji, ternyata emosi saya bergejolak seolah ingin berkata keras, "Saya sudah pernah pergi haji, tahu!!!" Namun alhamdulillah kalimat konyol seperti itu tak pernah meluncur dari mulut saya. Kendati demikian saya beristighfar, "Astaghfirullah haladzim," karena akhirnya Anda pun tahu bahwa saya pernah pergi haji. Duh repotnya bercerita tentang peristiwa yang demikian. "Eh kawan, omong-omong saya juga tergelitik untuk menikmati kebanggaan diri di mata kalian nich. O Allah, help me out, please!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar